Stop Buruh Anak

Stop Buruh Anak

Jumat, Juni 10, 2011

CATATAN AKHIR TAHUN PKPA NIAS 2010

A. PENDAHULUAN


Masih segar diingatan kita menjelang akhir tahun 2009 lalu atau mengawali tahun 2010, sebuah tragedi memilukan hilangnya nyawa anak-anak tak berdosa ditangan ibu kandungnya sendiri. Tepatnya tanggal 27 Desember 2009 tiga anak tewas dan dua lainnya dalam kondisi kritis di Rumah Sakit akibat penganiayaan yang dilakukan oleh Ibu Kandungnya. Meski kasus tersebut mendapat perhatian yang luar biasa dari banyak pihak baik media, politis daerah dan nasional namun kasus tersebut bukanlah yang terakhir. Kekerasan demi kekerasan terus saja mengancam anak-anak di Pulau Nias. Sepanjang tahun 2010 tercatat 59 kasus kekerasan terhadap anak, jumlah tersebut meningkat dari tahun 2009 yang berjumlah 42 kasus.
Kekerasan terbesar dialami oleh anak-anak perempuan, dalam bentuk kekerasan seksual (pelecehan/perkosaan/pencabulan) dan penganiayaan fisik yang berakibat kecatatan bahkan meninggal dunia. Yang lebih memprihatinkan lagi kekerasan tersebut banyak terjadi dilingkungan domestic seperti sekolah, rumah tangga dan institusi penampungan anak (panti asuhan) yang seyogianya menjadi ranah paling aman bagi anak.
Dipenghujung tahun 2010, kejadian memilukan kembali terjadi dua anak sekolah dasar di Kecamatan Lahewa Timur. Peristiwa penganiayaan itu terjadi pada tanggal 8 Desember 2010 ketika NZ (10) tahun dan WPZ (10) tahun sedang membeli jajanan pada saat jam istirahat sekolah. Ketika keduanya lewat didepan rumah pelaku bernama AZ (± 40 tahun), tiba-tiba menghadang kedua anak tersebut dengan sebuah kayu balok ditangannya. Dan tanpa basa-basi AZ memukul kepala NZ dengan kayu dibagian belakang kepala, akibat kerasnya pukulan tersebut NZ jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri dengan kepala bersimbah darah. Pukulan kedua diarahkan dibagian wajah WPZ yang mengenai bagian rahang, menyebabkan beberapa gigi korban lepas dan rahang mengalami retak. Kedua anak tersebut harus menjalani perawatan intensif di ruang ICU Gunung Sitoli. Dokter sebanarnya menyarankan agar anak tersebut khususnya NZ yang mengalami luka sangat parah dibawa ke Rumah Sakit di Medan.

B. Catatan khusus 2010
1. Kontroversi Kekerasan Anak di Sekolah
Kekerasan disekolah memang telah lama berlangsung disekolah-sekolah, namun di Nias mulai banyak dilaporkan orang tua peserta didik kepihak polisi pada akhir-akhir ini. Penanganan kasus kekerasan disekolah keranah hukum telah menimbulkan kontroversi dimasyarakat. Bahkan anak korban kekerasan yang mencari keadilan melalui jalur hukum harus menghadapi “kediktatoran” institusi sekolah yang dengan mudahnya mengeluarkan surat pemecatan anak dari sekolah tersebut. Instansi Dinas Pendidikan lebih sering menutup mata dan membiarkan kekerasan dan kediktatoran tumbuh subur disekolah-sekolah. Hak dasar anak atas pendidikan yang layak dan berkualitas hanyalah “mimpi” belaka.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 tahun 2008 tentang Guru dan juga peraturan perundang-undangan lainya tidak ada sama sekali memberikan kewenangan kepada guru untuk melakukan tindakan fisik dalam bentuk kekerasan apapun. PP No.74 tahun 2008 terutama pasal 39 yang berbunyi:
(1) Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada dibawah kewenangannya.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.

Apapun tindakan yang akan dilakukan oleh guru harus mengacu ketentuan dan peraturan perundang-undangan lainnya. Guru tidak dapat menafikkan Undang-undang Perlindungan Anak, pasal 54 yang berbunyi: “Anak didalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya didalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”.

Fathuddin Muchtar (PENELITI dan PENGAMAT PENDIDIKAN NASIONAL) Menyatakan: “Melihat realitas yang ada, maka mulai saat ini tindakan-tindakan kekerasan yang dibungkus dengan jargon “mendidik anak” harus dihentikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Kekerasan yang menimpa anak, apapun bentuknya sesungguhnya sangat merugikan anak, karena akan mempengaruhi pertumbuhan fisik, psikis dan dunia anak". Ungkapan senada juga disampaikan oleh Kak Seto Mulyadi (Ketua KOMNAS Perlindungan Anak) “Dengan alasan apapun seorang pendidik tidak dibolehkan memberikan hukuman dengan kekerasan kepada siswa. Hukuman, tidak harus diberikan dengan cara-cara yang mengandung kekerasan, tapi bisa dengan cara yang mendidik. “Seperti tidak memuji hasil kerjanya.” Kak Seto mengungkapkan, jika diberikan kesempatan untuk menghukum dengan kekerasan, maka kekerasan itu nantinya akan terus bertambah besar. “Jika siswa melawan saat dihukum, guru bisa terpancing emosinya dan terdorong untuk menghukum lebih keras,”
Pada intinya guru-guru di Indonesia harus mengubah metode dan paradigma tentang kekerasan sebagai salah satu cara mendidik. Masih banyak metode lain yang lebih damai untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan pada generasi bangsa, karena kekerasan hanya akan menyisakan dendam dan kekerasan baru. Agenda Nasional untuk menciptakan “Sekolah Ramah Anak” bukan hanya sekedar Jargon, akan tetapi sebuah model pendekatan pendidikan yang lebih baik untuk membangun karakter bangsa yang cinta damai. Pendekatan tersebut lebih memungkin untuk memberikan hak tumbuh-kembang anak secara optimal.

2. Anak Yang Berhadapan dengan Hukum
Situasi anak-anak lainnya yang penting untuk menjadi perhatian adalah munculnya stigma “residivis anak”. memang sangat disayangkan seorang anak yang harus berkali-kali keluar masuk penjara, seharusnya mereka bisa menikmati dunianya dibangku sekolah dan bermain dengan teman-teman sebaya. Sepanjang tahun 2010 tercatat 38 kasus anak yang harus berhadapan dengan hokum karena terlibat tindak pidana. Jumlah tersebut memang menurun dari catatan tahun 2009 yang berjumlah 46 kasus. Dari 38 kasus yang terjadi ditahun 2010, sebagian besar anak-anak terlibat dalam tindak pidana kekerasan dan pencurian.
Pertanyaannya benarkan mereka seorang residivis? Benarkan mereka penjahat? Atau apalah sebutan untuk para pelaku tindak pidana. Bagi masyarakat umum, memang sangat mudah untuk memberikan label bagi anak-anak tersebut dengan berbagai macam sebutan yang berkonotasi negative, misalnya anak nakal, bandal, tidak bisa diurus, dan masih banyak label-label negative lainnya.
Faktanya memang mereka melakukan tindak pidana, tapi bukankan anak-anak tersebut menjadi residivis karena kegagalan keluarga, kegagalan masyarakat dan kegagalan pemerintah menjalankan kewajibannya untuk memberikan yang terbaik bagi anak? barangkali semua komponen ini tidak bersedia untuk mengatakan kegagalan tersebut. Karena anak-anak ini harus bertahan hidup dengan caranya sendiri. Misalnya saja nasib seorang anak berinisal AL sudah menjadi “Langganan” di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sitoli. Meski usianya masih 13 tahun namun sudah 3 kali keluar masuk Lapas. Al sendiri tidak mengerti mengapa ia harus berkali-kali keluar masuk Lapas karena sejak kecil ia tidak pernah sekolah, tidak pernah tahu apakah yang dilakukannya menyalahi hukum atau tidak.
Masih banyak kisah-kisah anak seperti yang dialami AL, akibat ketidak pedulian keluarga, lingkungan sosial dan terlebih pemerintah sebagai pemegang mandat Undang-undang.

C. PENCAPAIAN KEGIATAN PKPA NIAS 2010
Tahun 2010 merupakan tahun ke-6 keberadaan PKPA di Pulau Nias, dimulai pasca tsunami dan gempa bumi tahun 2005. Selama keberadaan PKPA di Pulau Nias focus kegiatan hanya ditujukan untuk Perlindungan Anak. Ditahun 2010 kegiatan PKPA tujuan program PKPA adalah:
1) Pencegahan dan advokasi kebijakan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak khususnya di sektor penambang pasir dan nelayan perikanan.
2) Bantuan Hukum dan Rehabilitasi sosial bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan korban tindak kekerasan.
3) Membangun kesadaran masyarakat tentang Hak Anak dan penguatan organisasi anak

Pencapaian kegiatan selama tahun 2010 secara umum adalah:
1) Adanya kebijakan Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan terburuk untuk Anak di Kabupaten Nias Selatan, dalam bentuk:
a) Bupati Nias Selatan Mengesahkan pembentukan Komite Aksi Kabupaten Nias Selatan untuk Penghapusan Pekerja Anak.
b) Surat edaran ditujukan kepada semua pimpinan daerah, kecamatan, kepala desa, dan pelaku usaha di Kabupaten Nias Selatan. Isi dari surat edaran tersebut adalah:
• bahwa melarang segala kegiatan yang mengikut sertakan anak-anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak
• melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak-anak baik kekerasan fisik, psikis dan seksual
2) Memfasilitasi pendidikan kecakapan hidup anak-anak drop out melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di PKBM Sepakat, Kecamatan Gunungsitoli Idanoi dan SKB-Nias di kecamatan Gido. Penerima manfaat anak-anak perempuan usia 15-18 tahun sebanyak 30 orang.
3) Layanan Anak-anak Korban Kekerasan dan Anak Yang Berkonflik dengan Hukum. Penerima manfaat adalah Anak-anak dari keluarga miskin yang tidak memiliki kemampuan secara financial maupun sumberdaya dalam memperjuangkan keadilan dihadapan hukum. Kasus-kasus yang telah terdampingi oleh Unit Advokasi PKPA Nias ditahun 2010 sebanyak 47 kasus dengan perincian:
- Anak yang berkonflik dengan hukum : 27 Kasus
- Layanan dan pendampingan anak sebagai korban: 20 kasus
4) Memfasilitasi tersedianya Ruang Belajar dan Taman Bacaan bagi anak di Lembaga Pemasyarakatan (penjara anak) Gunung Sitoli. Penerima manfaat adalah Anak-anak yang menjalani tahanan maupun hukuman pidana di lembaga pemasyarakatan gunungsitoli.
5) Memfasilitasi kegiatan “Bale ono Niha” (Forum Anak Nias) perencana sosialisasi hak anak kepada komunitas anak di 8 desa dan meningkatkan partisipasi anak. Lebih dari 200 anak-anak telah bergabung dalam berbagai kegiatan organisasi anak, tersebar di Kota Gunung Sitoli dan Kabupaten Nias.
6) Sosialisasi konsep restorative justice dan perlindungan sosial anak di komunitas masyarakat sekitar Lembaga Pemasyarakatan. Peserta 30 orang dari unsure, Kepolisian, Pemerintah Kecamatan, Desa dan LSM
7) Pendidikan HAM Anak bagi Jurnalis dan Organisasi Masyarakat Sipil, Peserta 30 orang dari berbagai Media di Nias dan Organisasi Masyarakat Sipil.
8) Memfasilitasi Koalisi Perlinduangan Anak, Lembaga yang aktif mengikuti pertemuan reguler koalisi ini adalah, YEU/PRY, FORNIHA, Datafahea, BPWN, LSM Nias demo, Hagaini, PKPA dan P2TP2A Nias.
9) Program Khusus Scholarship, kegiatan yang dilakukan adalah Pemberian beasiswa melalui program orang tua asuh jarak jauh dan Menjalin hubungan anak-anak Nias dengan orang tua asuh di Italy. 25 anak dari kelurga miskin di komunitas pemukiman remiling dan Lasara, Gunungsitoli

E. PENUTUP
Pada dasarnya catatan situasi anak-anak Nias yang dimiliki oleh PKPA tidak hanya sebatas anak korban kekerasan dan anak yang behadapan dengan hukum. Masih ada sejumlah permasalahan anak yang menurut Undang-undang Perlindungan Anak dikategorikan sebagai situasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus, yaitu:
- Pekerja Anak, terutama bentuk pekerjaan yang membahayakan fisik, mental dan social anak seperti anak-anak penambang pasir dan batu cadas, anak-anak pekerja warung dan café hingga malam hari, anak jalanan/pemulung dan anak-anak yang terjebak dalam bisnis prostitusi.
- Perilaku Seksual Remaja, dikalangan pelajar terutama jenjang pendidikan SLTP dan SLTA dan peredaran video porno yang dilakukan antar remaja di Nias semakin marak.
- Anak-anak berkebutuhan Khusus atau anak-anak penyandang cacat yang jumlahnya di Pulau Nias mencapai 284 anak menurut data PRY. Namun anak-anak tersebut belum mendapatkan kebutuhan yang maksimal.
Menyikapi kompleksnya berbagai persoalan anak di kepulauan Nias, sudah seharusnya pemerintah dan stakeholders lain yang peduli akan nasib-nasib mereka melakukan langkah konkrit baik kebijakan maupun anggaran untuk meningkatkan perlindungan, pendidikan, kesehatan dan kesadaran masyarakat terhadap hak anak. Hak dasar anak untuk mendapat pendidikan, kesehatan, lingkungan yang ramah dan tumbuh-kembang secara optimal, berpatisipasi dalam pembangunan, bebas dari segala bentuk kekerasan, hak-hak itu bukanlah hadiah namun sesuatu yang melekat pada anak sejak masih dalam kandungan hingga mereka tumbuh menjadi manusia dewasa.

PKPA Nias, 31 Desember 2010
Misran Lubis
Direktur Eksternal PKPA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Tinggalkan Pesan/Do not forget to leave your message: