Stop Buruh Anak

Stop Buruh Anak

Senin, April 04, 2011

Menggagas konsep restorative Justice

Summary:
Menggagas konsep restorative Justice
bagi anak yang berkonflik dengan hukum di pulau Nias
( Kajian Cepat: Situasi Anak yang berhadapan dengan hukum di Pulau Nias-Tahun 2007)

A. PENDAHULUAN
Proses peradilan telah menyebabkan kerusakan psikologis terhadap anak-anak.

Mereka mengalami trauma dan stigmatisasi dalam sistem peradilan yang harus mereka lalui,” Anak dan keluarganya sering “cap negative”, bahkan ketika kasusnya dibatalkan karena terbukti tidak bersalah atau setelah bebas dari penjara tetap saja tidak ada rehabilitasi.
Dipulau Nias sendiri perlakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum masih jauh dari ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang peradilan anak maupun undang-undang perlindungan anak. Ditingkat kepolisian proses berjalan seperti kasus dewasa, pemeriksaan tidak dilakukan oleh polisi khusus anak dan belum memakai ruang pelayanan khusus, tidak ada penasehat hukum dan kalaupun ada penunjukan advokat sifatnya formalitas saja. Sementara untuk dikejaksaan dan pengadilan sudah ada penunjukkan Jaksa Anak dan Hakim Anak, namun fasilitas ruang tahanan masih belum dipisahkan dengan orang dewasa. Kondisi di lembaga pemasyarakatan lebih buruk lagi, tidak ada blok khusus anak, tidak ada fasilitas khusus untuk anak dan tidak ada pembinaan khusus untuk anak
Berdasarkan situasi diatas maka perlu dilakukan kajian dan analisis situasi anak yang berhadapan dengan hukum di Lembaga-lembaga formal seperti kepolisian, kejaksaan, peradilan, Lembaga Pemasyarakatan dan lembaga-lembaga nor formal dimasyarakat. Harapan dari kegiatan kajian dan analisis situasi ini agar adanya perubahan sistem peradilan dan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di Pulau Nias maupun di Indonesia secara keseluruhan. Proses Kajian dan analisis tersebut dilakukan oleh PKPA melalui sebuah kajian cepat yang dilakukan pada bulan Mei, tahun 2007.

B. Metodologi Kajian Cepat
B.1 Tujuan Kajian Cepat tersebut adalah:
1. Untuk mengetahui sistem penanganan dan pelayanan anak yang berkonflik dengan hukum di Pulau Nias pasca tsunami dan gempa bumi.
2. Untuk memperoleh konsep kearifan lokal penanganan masalah anak sebagai sumber inspirasi penerapan restorative justice bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

B.2 Teknik Pengumpulan data
Teknik Pengumpula Data dan Informasi menggunakan beberapa cara yakni: a) Observasi terhadap situasi dan kondisi anak yang menjalani proses hukum di tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, tahanan dan masyarakat; b) Wawancara mendalam (indepth intervew) dengan pihak kepolisian, Kajari/Jaksa, Ketua PN/Hakim, Petugas lembaga pemasyarakat, anak sebagai pelaku dan korban, praktisi huku, keluarga dan masyarakat; c) Diskusi terfokus (FGD) dengan masyarakat, anak dan aparat penegak hukum untuk memperoleh masukan tentang upaya perlindungan yang harus dilakukan dan solusi terkait dengan anak yang berhadapan dengan hukum.
Informan yang dilibatkan dalam pengumpulan data lapangan berjumlah 39 orang, terdiri dari 18 informan anak dan 21 informan dewasa. Latar belakang informan sangat beragam, dari kalangan pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, anak sekolah, anak di Lembaga pemasyarakatan dan anak yang telah bebas dari penjara.

C. TEMUAN KAJIAN CEPAT
Terungkapnya sejumlah kasus dan pelanggaran hak anak pasca tsunami dan gempa bumi tahun 2004 dan 2005 di Pulau Nias telah membuka wacana aktor kemanusiaan di Nias untuk melihat persoalan anak secara totalitas. Dampak langsung kejadian bencana alam terhadap anak ternyata hanya sebagian kecil dari kompleksitas masalah anak Nias.
Tahun 2006 sampai dengan 2007 kasus anak yang berkonflik dengan hukum secara kuantitas terus mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2005 kasus anak yang ditangani Kepolisian Nias berjumlah 27 kasus, pada tahun 2006 tercatat 72 kasus anak. Kasus-kasus tersebut tentunya bukanlah angka yang sebenarnya terjadi, karena banyak kasus yang dialami oleh anak-anak tidak sampai dilaporkan kepada kepolisian. Hampir 40 anak pada saat penelitian ini dilakukan menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan Gunung Sitoli baik yang berstatus tahanan maupun narapidana. Mereka tidak sepenuhnya tahu bahwa apa yang telah mereka lakukan dapat berujung dipenjara. Namun dibalik keluguan dan kecemasan akan nasib mereka, ternyata anak-anak tersebut menyimpan harapan menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan keluarganya, hanya saja siapa yang peduli akan nasib mereka ?.
Hukuman penjara masih menjadi pilihan oleh para hakim di Pengadilan Negeri Gunung Sitoli dalam menjatuhkan vonis hukuman terhadap anak. Dari catatan kasus anak yang berhadapan dengan hukum tahun 2006-2007 tercatat 95% vonis hakim adalah pidana penjara. Dari 14 kasus yang diajukan ke pengadilan sepanjang tahun 2006-2007 tercatat 12 divonis hukuman penjara antara 1,8 bulan-5 tahun.
Permasalahan lain yang menjadi kendala utama dalam proses persidangan adalah kesiapan advokat yang benar-benar memperjuangkan nasib anak-anak tidak ada di Nias, Kehadiran Pembimbing Kemasyarakata (PK) dipersidangan selama ini juga masih sulit. Namun hal ini telah ada kebijakan dari Pengadilan Negeri Gunung Sitoli yakni melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Anak untuk menggantikan peran advokat maupun PK.

D. RESTORATIVE JUSTICE SEBUAH PILIHAN
Tuntutan adanya perubahan paradigma sistem peradilan anak di Indonesia, khususnya di Pulau Nias dan mencari alternatif hukuman selain pejara merupakan hal mutlak, melihat kondisi kehidupan di Lembaga Pemasyarakat yang belum menjamin adanya perbaikan perilaku dan martabat anak selama menjalani hukuman. Kepolisian Republik Indonesia telah mengeluarkan Telegram kepada jajaran kepolisian di Indonesia untuk menggunakan Kewenangan DISKRESI terhadap kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum dan mengedepankan azas kepentingan terbaik bagi anak. Surat tersebut telah dikeluarkan sejak tanggal 16 Nopember 2006. Namun kebijakan Kepolisian tiangkat pusat belum sepenuhnya direspon oleh jajaran kepolisian tingkat bawah.
Di Indonesia sendiri dikenal beberapa istilah untuk penyelesaikan persoalan-persoalan komunitas, seperti Islah, Rekonsiliasi dan Musyarawah. Beberapa pendekatan tersebut dapat dikembangkan menjadi media restorative justice. Khususnya di Pulau Nias sangat memungkinkan adanya gagasan baru pendekatan restorative justice yang berakar dari sumber daya dan kearifan lokal. Pendekatan tersebut dapat berbentuk family group conference (FGC) maupun menciptakan model bersama melalui koalisasi lintas sektor.
Sebelum terstrukturnya mekanisem restorative justice, telah digagas sejumlah model pembelajaran untuk memberikan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Beberapa bentuk pendekatan dan pembelajaran yang telah dimulai antara lain: 1) PKPA Membantu Peran Litmas, Karena minimnya petugas Pembimbing kemasyarkatan yang ada di Gunungsitoli-Nias, sementara Litmas merupakan perangkat dari sistem Peradilan anak selalu dibutuhkan untuk setiap persidangan anak, maka PKPA mengusulkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Gunungsitoli Kelas II B agar dapat bekerjasama sebagai Pembantu Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam hal pendampingan di persidangan dan dalam pembuatan Litmas. 2) Bersinergi dengan kearifan Lokal, Media musyawarah adat dimasyarakat tersebut dapat dijadikan sebagai bentuk perwujudan Restorative Justice. Namun tidak untuk semua kasus-kasus pidana pada anak terutama yang terkategori pidana berat.

E. REKOMENDASI
Pertama, Implementasi dari keberadaan UU Perlindungan Anak, UU Peradilan Anak dan UU Kesejahteraan Anak harus terintegrasi dalam kebijakan pemerintah di tingkat Kabupaten, demi terciptanya keseimbangan hak dan kebutuhan pembangunan sumber daya manusia secara merata dan berkualitas.
Kedua, Perlu kesadaran bersama untuk benar-benar melindungi hak anak (termasuk anak yang berkonflik dengan hukum) dari penganiayaan dan segala bentuk eksploitasi. Mereka memunyai hak akan kelangsungan hidup (survival rights), hak akan perlindungan (protection rights), hak untuk tumbuh dan berkembang (development rights) serta untuk berpartisipasi (participation rights) sebagaimana yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak.
Ketiga, Kepolisian ditingkat sektor (Polsek) dan Unit PPA-Polres, perlu diperkuat baik pemahaman aparat tentang hak-hak anak sehingga mampu menjadi mediator maupun promosi retorative justice maupun penguatan secara kelembagaan.
Keempat, membentuk layanan pengaduan dan perlindungan anak berbasis institusi sekolah juga dapat mendukung secara langsung penyelesaian kasus-kasus antar anak dan juga proses pemulihan yang paling mungkin tersedia di seluruh desa karena institusi sekolah telah merata disemua desa.

F. PENUTUP
Anak, bukanlah miniature orang dewasa, anak memiliki sifat dan keunikan tersendiri. Dalam kondisi apapun hak-hak anak tidak dapat diabaikan, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum. Ketika Negara tidak dapat memenuhi fasilitas dan perangkat hukum untuk mewujudkan pemenuhan hak anak yang berkonflik dengan hukum, maka seharusnya negara tidak mengorbankan hak-hak anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Tinggalkan Pesan/Do not forget to leave your message: