Stop Buruh Anak

Stop Buruh Anak

Kamis, Mei 12, 2011

PEMETAAN SITUASI KHUSUS ANAK NIAS

PEMETAAN SITUASI ANAK
YANG MEMBUTUHKAN PERLINDUNGAN KHUSUS DI PULAU NIAS
TAHUN 2010

1.1 Pendahuluan
Anak adalah seorang manusia yang sedang tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan sampai berumur 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Anak bukan juga seorang dewasa yang berukuran kecil karena itu anak mempunyai sifat-sifat khusus dalam setiap tahap perkembangannya. Secara filosofis, anak adalah amanah Tuhan Yang Maha Esa, dan secara nasional anak adalah keberlanjutan bangsa ini. Karena itu semua upaya untuk keberlanjutan bangsa harus senantiasa mengedepankan atau mengarusutamakan kepentingan anak. (H TB. Rachmat Santika/ dokter Spesialis Anak dan Tim Ahli KPAI).
Pulau Nias pasca bencana alam tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi 28 Maret 2005 mulai mendapatkan perhatian luas dari berbagai lembaga nasional maupun internasional untuk misi kemanusiaan. Misi kemanusiaan yang dilakukan oleh berbagai lembaga kemanusiaan untuk tujuan tanggap darurat dan pemulihan Nias menyentuh berbagai sektor infrastruktur dan sumber daya manusia. Salah satu sektor penanganan yang menjadi perhatian lembaga adalah situasi anak-anak dipengungsian dan anak-anak nias secara umum. Anak menjadi kelompok yang paling rentan terhadap berbagai kondisi terburuk dalam situasi bencana. Munculnya kasus trafiking anak dengan modus untuk disekolahkan, diasuh, dipekerjakan untuk kehidupan yang lebih baik dan modus rekruitmen lainnya membuktikan bahwa betapa lemahnya perlindungan anak. Menurut catatkan kasus dugaan trafiking yang berhasil diungkap pasca gempa bumi 28 Maret sampai dengan Juli 2006 tercatat 66 kasus anak diduga menjadi korban trafiking yang berhasil diselamatkan.
Terungkapnya kasus trafiking anak dan kemudian kasus-kasus anak lainnya seperti korban kekerasan di sektor domestik dan publik, korban perkosaan dan anak-anak yang disangka sebagai palaku tindak pidana telah membuka wacana aktor kemanusiaan di Nias untuk melihat persoalan anak secara totalitas. Dampak langsung kejadian bencana alam terhadap anak ternyata hanya sebagian kecil dari kompleksitas masalah anak Nias.
Penelitian dan berbagai observasi terdahulu yang pernah dilakukan oleh sejumlah lembaga pemerhati anak seperti PKPA, Pusaka Indonesia, WVI-Nias dan lembaga lainnya terkait beberapa sektor situasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus menemukan adanya fakta situasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, kekerasan terhadap anak, anak yang berhadapan dengan hukum dan masalah kesehatan anak terutama kasus-kasus gizi buruk. Penelitian-penelitian tersebut masih dilakukan secara sektoral berdasarkan tema tertentu dan kemungkinan masih banyak fenomena dan fakta-fakta anak yang membutuhkan perlindungan khusus belum terdata dan belum terungkap. Untuk itu PKPA atas dukungan pendanaan dari Kindernothilfe melakukan pemetaan situasi anak nias yang membutuhkan perlindungan khusus dipenghujung tahun 2010 selama 2 bulan yaitu bulan Oktober-November.
Penelitian ini diharapkan dapat memetakan gambaran yang lebih komprehensif terhadap semua tema issu anak yang membutuhkan perlindungan khusus atau setidaknya dapat memperluas informasi tentang fakta situasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus di pulau Nias. Dalam pengertian lain penelitian ini akan menjadi pelengkap informasi, data, analisis dan rekomendasi-rekomendasi dari penelitian terdahulu tentang issu anak. Metode Pengumpulan Data dalam pemetaan ini mengarah pada eksplorasi atau pendalaman secara kualitatif akan fenomena anak di Pulau Nias. Karena sifatnya eksplorasi maka teknis pengumpulan data yang dipilih adalah; Study Dokumentasi, Pengamatan dan Wawancara serta didukung dengan teknis Diskusi Terfokus (FGD) melibatkan sejumlah stakeholders yang sebelumnya menjadi informan pengumpulan data sekunder (study dokumentasi) yaitu Polres Nias, P2TP2A Kabupaten Nias, Badan KB dan PP Nias Selatan, Dinas Sosial Nias Selatan, Dinas Sosial, Kependudukan dan Naker Kabupaten Nias, Dinas Sosial Kota Gunung Sitoli, Dinas Sosial Kabupaten Nias Barat, Dinas Sosial Kabupaten Nias Utara, Yayasan Holiana’a, BPWN Kabupaten Nias, RRI Gunung Sitoli, WVI – Nias, Kantor Pengadilan Agama Gunung Sitoli, Organisasi perempuan HKBP, Pesada Nias dan Pimpinan Nasyiyatul Aysiyah Kab. Nias. Disisi lain FGD juga dilakukan terhadap kelompok anak.

1.2 Populasi Anak Nias
Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang berada di perairan pantai barat Sumatera Utara, tepatnya berada di samudera hindia. Pulau Nias juga menjadi kebanggaan Indonesia dengan ras, seni dan budayanya yang khas sehingga menjadi salah satu daerah tujuan wisata terutama penggemar surfing dan para peneliti sejarah. Secara administratif, pulau Nias hanya mencakup satu kabupaten saja yaitu kabupaten Nias, namun dengan adanya pemekaran wilayah pada tahun 2003 dan 2008, Pulau Nias sekarang ini telah bagi menjadi lima daerah otonom dengan bentuk pemerintahan empat kabupaten dan satu kotamadya.
Tingkat pertumbuhan penduduk di pulau ini dapat dikatakan sangat tinggi dan mungkin bisa diumpamakan sama dengan tingkat pertumbuhan populasi negara Cina. Namun banyaknya populasi/etnis Nias tidak serta merta menyebabkan tingkat kepadatan penduduk di wilayah ini juga tinggi. Populasinya justru lebih banyak tersebar dan menetap di daerah di luar pulau Nias seperti Sibolga, Medan, Pekanbaru, Padang dan daerah lainnya. Pada umumnya mereka bermigrasi ke daerah lain disebabkan faktor pendorong dari dalam yaitu antara lain rendahnya tingkat pendapatan, sangat sempitnya lapangan pekerjaan, minimnya sarana dan prasarana umum seperti jalan raya, fasilitas pendidikan, dan lain sebagainya
Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk lebih dari 700 ribu jiwa yang tersebar di lima daerah otonom Kabupaten/kota dengan perincian penduduk sebagai berikut;
 Total populasi kabupaten Nias mencakup Kabupaten Nias Induk, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat dan kota Gunungsitoli total populasi 443,492 jiwa terdiri dari Laki-laki 217,492 jiwa dan perempuan 226,000 jiwa.
 Untuk populasi Nias Selatan, total 272,848 dengan perincian laki-laki 134,770 dan perempuan 138,078
Dari populasi pendudukn tersebut, tingkat populasi anak berdasarkan estimasi penghitungan SPAN 2005 sekitar 40 % untuk Nias dan 55 % untuk Nias Selatan. Dengan estimasi tersebut maka populasi anak usia 0-18 tahun adalah:
• Nias Selatan ± 141 722 jiwa
• Nias (mencakup Kabupaten Nias, Nias Utara, Nias Barat dan kota Gunungsitoli) pulasi anak ± 185,980 jiwa.

1.3 Fakta Situasi Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus
Meskipun dalam konsepnya ada sembilan sektor kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus berdasarkan penjelasan Undang-undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak, namun pemetaan ini hanya memfokuskan pada lima sektor yang faktanya sering muncul kepermukaan berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, observasi maupun pemberitaan-pemberitaan media. Namun tidak tertutup kemungkinan masih ada fakta lain yang belum berhasil diungkap dalam penelitian ini karena minimnya informasi maupun tidak adanya data yang akurat dilembaga-lembaga pemerintahan maupun non-pemerintah.
Kelima sektor yang berhasil dipetakan secara mendalam situasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus adalah:
1) Anak yang berhadapan dengan hukum
2) Anak yang menjadi korban kekerasan
3) Anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau seksual,
4) Anak yang berkebutuhan khusus (menyandang cacat),
5) Anak yang menjadi korban perlakuan salah dan penelantaran

a) Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH)
Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) merupakan istilah yang ditujukan kepada anak-anak yang terlibat dalam permasalalahan hukum baik sebagai korban, pelaku maupun sebagai saksi dalam suatu perkara hukum. Secara lebih spesifik pembahasan anak yang berhadapan dengan hukum pada bagian ini fokus pada situasi anak yang sebagai pelaku atau disangka menjadi pelaku tindak pidana. Sepanjang tahun 2010 PKPA Nias mencatat telah mendampingi 32 kasus ABH dan menurut data laporan dari Kepolisian Resort Nias dan Nias Selatan sepanjang 5 tahun terakhir 2006 -2010 tercatat 162 anak yang ajukan ke proses peradilan. Tindak pidana yang disangkakan kepada anak-anak tersebut sebagain besar adalah kasus pencurian, penganiayaan, judi dan kecelakaan lalu lintas. (Sumber: PKPA Nias, 2010)
Proses peradilan telah menyebabkan kerusakan psikologis terhadap anak-anak. Mereka mengalami trauma dan stigmatisasi dalam sistem peradilan yang harus mereka lalui,” Anak dan keluarganya sering “cap negative”, bahkan ketika kasusnya dibatalkan karena terbukti tidak bersalah atau setelah bebas dari penjara tetap saja tidak ada rehabilitasi. Stigmatisasi tersebut dapat mengurangi akses anak ke sekolah dan kesempatan hidup lebih baik lagi dimasyarakat. Sekolah, keluarga dan orang tua terkadang menolak kembalinya anak tersebut. Majikan juga tidak mau menerima anak-anak yang telah berhadapan dengan hukum atau eks “narapidana anak”, sehingga jalan keluar adalah mereka sering kembali melakukan kejahatan (residivis anak). Fenomena residivis anak telah menjadi masalah yang sangat memprihatinkan di Nias, aparat penegak hukum di Nias mengakui bahwa beberapa anak telah berkali-kali menjalani proses hukum namun tidak ada solusi pembinaan jangka panjang.

b) Anak Korban Kekerasan
Seorang anak perempuan berusia 7 tahun, bernama A.Telaumbanua menjadi korban penganiayaan dalam lingkup rumah tangga. penganiayaan ini dilakukan oleh Kakak Sepupu korban seorang perempuan bernama N.Telaumbanua (20 tahun). peristiwa penganiayaan terakhir kalinya diketahui oleh Kepala dusun pada 14 Juli 2009. Namun menurut informasi warga sekitar, kekerasan tersebut sudah sering terjadi dan hampir setiap hari. Kondisi anak akibat kekerasan tersebut sangat kritis dan dalam keadaan pingsan karena mengalami luka parah di bagian kepala, pangkal paha dan dibagian tubuh lainnya. Korban diselamatkan oleh kepala lingkungan dibantu warga yang memaksa masuk kerumah pelaku dan mendapati korban dalam keadaan tidak sadarkan diri, korban di bawa ke Rumah Sakit. Setelah dirawat selama 3 hari di Rumah Sakit Umum Gunung Sitoli, nyawa korban tidak tertolong lagi dan akhirnya meninggal pada tanggal 17 Juli 2009, pukul 19.00 WIB.
Kekerasan seperti yang dialami oleh A.Telaumbanua diatas bukanlah cerita baru dan satu-satunya yang terjadi. Masih segar diingatan kita menjelang akhir tahun 2009 lalu atau mengawali tahun 2010, sebuah tragedi memilukan hilangnya nyawa anak-anak tak berdosa ditangan ibu kandungnya sendiri. Tepatnya tanggal 27 Desember 2009 tiga anak tewas dan dua lainnya dalam kondisi kritis di Rumah Sakit akibat penganiayaan yang dilakukan oleh Ibu Kandungnya. Kasus tersebut memang mendapat perhatian yang luar biasa dari banyak pihak baik media, politisi daerah dan nasional namun tidak demikian dengan beberapa kasus kekerasan lainnya. Kekerasan demi kekerasan terus saja mengancam anak-anak di Pulau Nias. Sepanjang tahun 2010 tercatat 59 kasus kekerasan terhadap anak, jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya (2009) yang berjumlah 42 kasus.
Korban kekerasan terbesar dialami oleh anak-anak perempuan pada usia 6 – 18 tahun, sekitar 70% kasus kekerasan yang dilaporkan korbannya adalah anak perempuan. Jenis kasus kekerasan yang dialami anak-anak sebagian besar tergolong kasus tindak pidana berat yaitu kekerasan seksual (perkosaan, pencabulan, pelecehan), trafficking dan penganiayaan fisik yang berakibat pada kecacatan dan kematian. Lebih memprihatinkan lagi ternyata kasus-kasus kekerasan lebih dominan dilakukan oleh orang-orang terdekat dalam lingkup domestik, seperti orang tua kandung, wali, tetangga, kerabat keluarga dan oknum guru. Setiap tahunnya kasus-kasus yang dilaporkan sekitar 60% diantaranta merupakan kasus yang terjadi dalam lingkup domestik. Meskipun kasus kekerasan dilingkup domestik seperti keluarga dan sekolah sangat tinggi, namun upaya perlindugan dan penegakan hukumnya sangat sulit. Para korban mengalami banyak tekanan, intimidasi, bahkan pemecatan dari sekolah apabila melaporkan kasus kekerasan ke pihak kepolisian. Kekerasan tersebut dianggap sebagai “kewajaran” yang harus diterima oleh anak-anak. Orang tua, kerabat dekat dan guru merasa memiliki otoritas dan kendali penuh atas anak-anak mereka.
Suster Clara Duha,OFP (Kepala Panti Asuhan Faomasi-24/11/2010)“ ada anak pelajar SMP yang diperkosa oleh pamannya sendiri , kemudian anak tersebut hamil. Dan sempat kita rawat disini sampai anak itu melahirkan. Setelah anaknya lahir kemudian dia kembali kepada orangtuanya seolah belum terjadi apa-apa dan anak yang dilahirkannya kita berikan kepada orang lain yang mengadopsi agar anak tersebut ada yang mengurus.” Dan “ ada juga pernah terjadi pelajar yang sempat pacaran dengan orang yang lebih dewasa dari padanya kemudian anak tersebut hamil diluar nikah namun keluarga siperempuan tidak setuju menikahkan anaknya dengan laki-laki yang telah menghamili anaknya, dan akhirnya anak perempuan tersebut disuruh keseberang (keluar pulau Nias) oleh orangtuanya kerumah famili untuk melahirkan disana maksudnya agar aib keluarga tidak sampai ketahuan masyarakat.”

c) Pekerja Anak
Nama ku R. Telaumbanua, saat ini umurku baru 14 tahun. Setelah tamat SD aku nggak sekolah lagi, tapi karena permintaan Ibu untuk bantu pekerjaan di rumah aku nggak dikasih sekolah. Selain mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, cuci pakaian dan memasak, aku juga bekerja mengumpulkan batu-batu gunung untuk di jual. Aku pernah minta ke ayah untuk lanjutkan sekolah SMP tapi ayah malah marah, bahkan ayah pernah nampar aku karena ngak mau pergi ke bukit untuk ngambil batu. Sekarang aku nggak ada pilihan lagi dan nggak bisa mbantah kata ibu untuk membantu pekerjaan dirumah dan juga menuruti permintaan ayah untuk membantu ngambil batu di bukit. (sawo,2006- wawancara oleh Tim PKPA)

Kisah diatas hanyalah sebagian kecil dari ratusan atau bahkan ribuan kisah anak-anak yang hidup di pulau Nias mengalmi nasib sama atau lebih buruk lagi mulai dari pesisir pantai sampai desa pedalaman yang sulit dijangkau kendaraan. Memang belum ada angka pasti beapa jumlah anak-anak di pulau Nias yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan terlibat dalam bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Namun melihat data drop out anak dari sekolah yang tinggi sangat mungkin jumlah pekerja anak juga tinggi. Berdasarkan hasil kajian cepat PKPA-ILO Ipec tahun 2006 menemukan data bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semkain rendah partisipasi anak ke sekolah, mereka terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak
Ada dua jenis pekerjaan yang banyak dilakukan anak-anak ketika PKPA melakukan penelitian di Kecamatan Tuhemberua, Sawo dan Lahusa yaitu: penambang pasir dan pemecah batu. Mencari pasir atau batu serta memecah batu sudah lama menjadi tradisi di daerah-daerah tersebut. Di Hiliduruwa-kecamatan Sawo, penduduk lokal telah melakukan praktek ini sejak 30 tahun yang lalu. Kemudian, permintaan yang besar material pasir dan batu untuk kerja-kerja konstruksi pasca tsunami 2004 dan gempa bumi 2005 telah meningkatkan besaran praktek tersebut secara drastis. Semakin banyak daerah yang dieksploitasi untuk pengambilan pasir dan batu maka semakin banyak pula anak-anak yang terlibat. Meski praktek mempekerjakan anak sudah lama berlangsung namun data pekerja anak belum diketahui secara pasti karena belum adanya pendataan dari pihak manapun.
Hampir semua desa terdapat bentuk pekerjaan yang berbahaya bagi anak-anak. Dari kajian cepat tersebut diketahui bahwa sektor pekerja anak lainnya yang banyak dilakukan anak-anak dalam kategori berbahaya untuk anak antara lain:
- Terlibat sebagai kuli bangunan dan jalan, kegiatan konstruksi dengan sistem borongan secara tidak langsung telah membuka peluang bagi orang tua untuk mengikut sertakan anak-anak mereka guna mencapai tager dengan cepat.
- Sektor perikanan, sebagai nelayan tradisional bersama keluarga maupun toke kapal, tidak ada di Nias Barat maupun Nias Utara sektor perikanan yang dikelola oleh perusahaan besar.
- Urbanisasi ke daerah lain disekitar Nias seperti kota Gunung Sitoli dan kota Teluk Dalam dan urban keluar Pulau Nias seperti Sibolga dan Medan, bekerja diberbagai sektor pekerjaan informal seperti penarik beca, pemulung, pedagang asongan dan menjadi buruh di pelabuhan, rumah makan, café dan toko-toko.

d) Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
Meski fenomena ESA masih sangat kontroversial keberadaannya, namun fenomena yang muncul dikota-kota Besar seperti Medan , sepertinya maraknya bisnis prostitusi di kalangan pelajar patut diwaspadai perkembangannya di Kota-kota yang ada di Pulau Nias. Beberapa Temuan di Lapangan dari berbagai sumber yang dirahasiakan identitasnya memiliki potensi untuk dikategorikan ESA,yaitu :
• Seorang anak perempuan berinisial E ( 16 tahun) telah terlibat sebagai pekerja seks komersial anak (ESKA) selama satu tahun terakhir dan meninggalkan bangku sekolah pada kelas dua SLTP. Menurut informasi E Ia tidak sendirian, tapi masih ada perempuan-perempuan lain yang usianya antara 15 – 25 tahun menjadi “perempuan panggilan” di sekitar Kota Gunungsitoli.
• Beredarnya video mesum yang diketahui masih pelajar, kejadian di tahun 2010 sedikitnya ada dua vidio mesum yang beredar di masyarakat. Peristiwa tersebut menimbulkan keprihatinan dikalangan guru dan orangtua.
• Adanya pelajar-pelajar di tingkat SMP dan SMA di kota Gunungsitoli yang berprofesi sebagai wanita panggilan, biasanya ini adalah anak-anak yang berasal dari luar kota dan tinggal dirumah kost.
• Adanya pelajar-pelajar yang hamil diluar nikah, kemudian meminta pertolongan dokter untuk dilakukan aborsi usia kehamilan rata-rata 2 sampai 4 bulan. (sumber ; dokter xxx) dan laporan kasus di kepolisian.

Beberapa pendapat tentang masyarakat tentang bentuk eksploitasi seksual anak (ESA) ;

Drs. Yasato Harefa (Sekretaris Lembaga Budaya Nias / LBN) 15/11/2010 ”Saya hanya mendengar-dengar kalau ada sebagian anak-anak sekolah yang terlibat dalam pelacuran dan memang saya belum melihat langsung tapi hal ini pernah saya dengar dari guru-guru hanya saja terselubung tidak diekspos termasuk penyalah gunaan handphone (HP) oleh anak sekolah. Kasus-kasus yang pernah terjadi pelecehan seksual dan juga perkosaan yang mana pelaku dan juga korban adalah anak-anak.”

Ridwan Halawa (Kabid Pemberdayaan Sosial Kabupaten Nias Selatan) 18/11/2010 ”Buruh anak didaerah Nias Selatan ini banyak kita temukan terutama dikawasan sebelum masuk kota Teluk Dalam disitu ada anak-anak yang bekerja sebagai pemecah batu, memanjat pohon kelapa dan itu dilakukan karena disuruh oleh orangtuanya. Pelacuran anak yang diekploitasi oleh orang dewasa itu ada tapi terselubung saya pernah mendengar ada anak sekolah dibawah umur 16 tahun menjadi PSK tapi saya belum pernah melihatnya secara langsung.”
Fatulusi Gulo (Kabid. Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat) 22/11/2010 “Walaupun saya baru bergabung di Dinas Sosial, sepanjang pengamatan saya memang ada anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan seksual di dalam keluarga yang tergolong dalam taraf kemiskinan. Anak-anak yang dibiarkan oleh orangtua untuk bekerja mencari nafkah dan mengabaikan sekolahnya saya rasa itu masih ada.”

e) Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra , tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Dipulau Nias sendiri hanya tercatat satu lembaga yang melakukan pendampingan terhadap anak berkebutuhan khusus, yaitu Pusat Rehabilitasi Yakkum. Sedangkan untuk SLB sendiri, di Kota Gunungsitoli terdapat 1 SLB yaitu SDLB Negeri Gunungsitoli, di desa Dahana Tabaloho, dengan murid kurang lebih 16 orang dan guru sebanyak 5 orang. Dimana disekolah ini murid yang belajar rata rata mengalami tuna rungu, tuna wicara dan tuna grahita. (sumber www.rehab.go.jp/facilitiesinindonesia)
Pusat rehabilitasi Yakkum sendiri sudah melaksanakan kegiatan pendampingan terhadap pasien berkebutuhan khusus sejak tahun 2005. Dan jumlah anak yang didampingi adalah sebanyak 284 anak yang tersebar di 29 kecamatan. Dan pasien yang mendapat pendampingan dari PRY adalah pasien yang mengalami cacat fisik, yang disebabkan cacat lahir, kecelakaan atau bahkan akibat dari bencana gempa yang terjadi dipulau Nias tahun 2005 yang lalu.
Pendampingan yang dilakukan oleh PRY adalah penanganan medis berupa perawatan tehadap luka, operasi dan fisioterapi untuk meningkatkan fungsi mobilitas pasien. Pasien juga diberikan alat bantu untuk membantu mereka berjalan. Selain itu mereka juga melakukan pendampingan psikososial untuk psikis pasien. Karena kebanyakan pasien yang didampingi, ketika mereka mengalami kecacatan, baik karena bawaan lahir ataupun karena kecelakaan atau bencana alam, mereka akan didiskriminasi dari lingkungan sosial dan keluarga, seakan akan itu adalah suatu hukuman.

f) Perlakuan Salah terhadap Anak
Secara umum pengertia penelantaran anak adalah tidak menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal maupun tidak memberikan kasih sayang yang cukup bagi seorang anak. Seorang anak dikatakan terlantar bukan karena ia sudah tidak memiliki salah satu orangtua atau keduanya. Anak terlantar adalah anak-anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik rohani, jasmani, maupun sosial. Terlantar disini juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh-kembang secara wajar, hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidak mengertian orangtua, karena ketidak mampuan, atau karena kesengajaan (Lati Gumilang, 2008).
Menurut Indra Sugiarno Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi,guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang kebon, dan seterusnya.

Jenis –jenis perlakuan salah dan penelantaran.
Berbagai macam bentuk perlakuan salah dan penelantaran terhadap anak telah ditemukan sepanjang dilakukannya mapping ini, antara lain :
• Pembiaran anak-anak terjebak dalam situasi yang dapat merusak perilaku dan moral anak (narkoba, pornografi dan pornoaksi).
• Menitipkan anak dipanti asuhan dalam waktu yang panjang meski keluarga anak masih ada, “melepas beban tanggung jawab penuhan hak dasar anak”.
• Bayi yang dibuang.
• Perinkahan di Usia Dini dan juga pemaksaan pernikahan pada anak usia muda dibawah 18 tahun.
• Diskriminasi hak anak laki-laki dan perempuan baik dalam masalah sosial, pendidikan dan hak sipil/politik.
• Menjatuhkan sanksi yang berkelanjutan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual (pengusiran, nikah paksa di usia anak, menutup hak anak atas pendidikan)

1.4 Penutup
Anak, bukanlah miniature orang dewasa, anak memiliki sifat dan keunikan tersendiri. Dalam kondisi apapun hak-hak anak tidak dapat diabaikan, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum. Ketika Negara tidak dapat memenuhi fasilitas dan perangkat hukum untuk mewujudkan pemenuhan hak anak yang berkonflik dengan hukum, maka seharusnya negara tidak mengorbankan hak-hak anak. Yaahowu (PKPA Nias-2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Tinggalkan Pesan/Do not forget to leave your message: