Stop Buruh Anak

Stop Buruh Anak

Senin, April 25, 2011

PKPA FOUNDATION

PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
(CENTER FOR STUDY AND CHILD PROTECTION)

A. ABOUT PKPA
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)/Center for Study and Child Protection is a non profit organization (institution) with Notarial Certificate No. 65 Dated 30 June 1998: Djaidir, SH Notary Office which was revised in accordance with Law on Institution with Notarial Certificate No. 13 Dated 19 December 2006: Syamsurizul Akbar Bispo, SH Notary Office which was endorsed by Department of Justice and Human Rights of the Republic of Indonesia with registration No. AHU-4047.AH.01.02.Year 2008. PKPA’s base is in Medan, Indonesia.

Vision : For the implementation of the best interests of the child
Mission : Advocacy for possible policy changes for child well-being and protection and implementation of the rights of the child.

B. MAIN PROGRAM
PKPA is working for child and youth issues, especially for the children that needed special protection. The main program of PKPA in present time are :

1) Advocacy:
Giving the services to child and youth in law process and access to get justice, the children that become the victim and prisoners of violence cases are oftenly get unhumane treatment from the law officers, especially the children from poor family. PKPA also doing the advocacy of local and national regulation to guarantee of fulfillness of the child right according to the International Instrument of Human Rights.

2) Access to the Base Education and Youth Economic Empowerment.
Children form the slum area, remote area, street children, and children with special needed have very low education level, and it is very difficult to get the base education access. The PKPA’s programs are, opening the class for kindergaten from 2 – 5 years old, scholarship support for the base education access for 6 – 15 years old, vocational training and enterpreneurship for drop out children for 13 – 18 years old.

3) Promoting and Awareness of Child Right
The high number of fisical sexual violence to the children and youth in household, school, and public, impacted to the growth of the children, continuous trauma, and isolated from society and trafficking. To do the promotion and awareness raising of the rchild right to the community, PKPA developing the peer educator program for teenagers, formulating the child and youth organization, campaign through the child movie, proletariat theater, child right training to the jurnalist and Civil Society organization.

4) Emergency Respon and DRR Program
The humanitarian mission for emergency respon and disaster awareness are focused on children and youth. PKPA have done the emergency respons in many areas in Indonesia since 2003. The services are including the psycosocial, education rehabilitation, base health services and child protection. PKPA also doing the education of disaster awareness base on school, this programm are developed in North Sumatera, Nias island and Aceh.

C. INTERNATIONAL & NATIONAL AFFILIATION NETWORKS
1. ECPAT International, Bangkok
2. Regional Working Group on Child Labor (RWG-CL), Bangkok
3. Global Alliance Against Trafficking in Women (GAATW), Bangkok
4. Jaringan Advokasi Pekerja Anak (JARAK)-Indonesia
5. Forum Belajar Capacity Building (FBCB)-Sumatra
6. National Coalition for the Elimination of CSEC
7. National Coalition for Civil Society-Indonesia
8. Provincial Task Force for the Elimination of Trafficking in Children and Women

D. EXPERIENCE IN WORKING WITH INTERNATIONAL & NATIONAL ORGANIZATION
1. Ford Foundation and PPK of Gajah Mada University: 2000
2. International Organization for Migration (IOM): 2005-2006
3. Australian Government: 2009-2010.
4. Oxfam International: 2008 - 2009.
5. National Coalition for the Elimination of CSEC: 2010/2011
6. Kindernothilfe-Gemany: 2006-2013
7. ILO-IPEC: 2010-2011
8. Brot for The World-Germany, 2002-2006
9. Lutheran World Relief (LWR), 2008 – 2012
10. Etc

E. Capacity and resources
1. Permanent office in Medan as centre office with complete facilities, supported by professional staff from many background education, religion, etnic and gender.
2. Branch office in Nias Island, Banda Aceh and Simeulue Island.
3. Special building for children creative center in poor community.
4. Standard Operational Procedure (SOP) and ethical Code that manage the management and operational organization.
5. Yearly audit and independent financial evaluation and program by public accountan.

F. FOR MORE INFORMASTION, PLEASE CONTACT US:
Misran Lubis (External Director).
5th -A Abdul Hakim Street , Pasar I Setia Budi, Medan, North Sumatera, Indonesia. Post Code: 20132
Phone: 061. 8211117, Fax: 061. 8213009
Email: pkpamdn@indosat.net.id, pkpamdn@gmail.com, lubiscom@yahoo.com
Webiste : www.pkpa-indonesia.org

Rabu, April 20, 2011

PELATIHAN HAM BAGI JURNALIS

PELATIHAN HAM-ANAK BAGI OMS DAN JURNALIS
DI KEPULAUAN NIAS
GUNUNGSITOLI, 16 – 18 DESEMBER 2010

A. PENDAHULUAN
________________________________________
Bagi sebagian anak-anak, bisa masuk koran atau televisi sungguh menyenangkan. Tapi

bagi perkembangan jiwa anak-anak, kehadiran mereka di media massa, seperti kasus anak-anak Ahmad Dani, tentu bukanlah sesutau yang positif. Bagi, Al,El dan Dul, masuk televisi membuat mereka menjadi bagian dari incaran media massa. Bahkan kisah mereka tak kalah heboh dengan cerita rumah tangga orang tua mereka sendiri.
Disisi lain peran media tidak kalah pentingnya degan peran aktivitas pembela Hak-hak anak. Berbicara tentang media/jurnalis dan hak asasi manusia khususnya hak anak, sedikitnya ada dua peran yang bisa dimainkan; Pertama adalah peran pendidikan. media dapat meng-edukasi masyarakat, meningkatkan pemahaman mengenai hak anak dengan menyediakan informasi soal hak anak. Media juga dapat menancapkan nilai-nilai dan sikap dengan mempromosikan kultur hak asasi manusia, serta mendorong warga negara untuk mempertahankan dan membela hak asasinya dari berbagai bentuk pelanggaran oleh negara.
Kedua adalah peran monitoring. Cara ini bisa dilakukan dengan memantau kinerja negara (pemerintah) dalam menjalankan kewajibannya untuk memenuhi, melindungi dan mempromosikan hak anak, Terutama terhadap implementasi berbagai instrumen internasional seperti Konvensi Ahak Anak, CEDAW dan Intrumen HAM lainnya secara bersamaan.
Kedua peran penting itulah yang agaknya membuat jurnalis ditempatkan dalam posisi sebagai pembela hak asasi manusia (human rights defender) bersama-sama dengan aktivis HAM Lainnya. Namun posisi itu pula yang sering menyebabkan jurnalis juga menjadi korban pelanggaran HAM. Di beberapa tempat di Indonesia sejumlah jurnalis menjadi korban kekerasan aparat ketika menjalankan tugasnya. Namun terkadang problemnya adalah karena ketidakpahaman jurnalis sendiri mengenai persoalan HAM. Singkatnya, ada banyak problem baik yang bersifat internal maupun eksternal yang dihadapi media/jurnalis ketika menjalankan perannya tersebut.
Persoalaan lainnya adalah kehadiran anak-anak sebagai objek media terkadang tidak memperhatikan aspek kepentingan terbaik bagi anak. Dari sini tampaklah adanya kebutuhan untuk lebih mengkonsolidasikan isu hak anak agar dapat di tangani secara bersama-sama antara Media/Jurnalis dengan Aktivis Pembela Hak Anak.


B. Tujuan
________________________________________
Secara khusus pelatihan HAM Anak ini bertujuan:
 Meningkatkan kapasitas media/jurnalis di Nias dalam mengadvokasi kepentingan yang terbaik kepada anak
 Memperkuat Konsolidasi Media/Jurnalis dengan aktivitis pembela HAM-Anak melalui proses pembentukan kesadaran kritis tentang isu-isu tersebut.

C. Output
________________________________________
 Meningkatnya kemampuan analisa sosial dan kemampuan advokasi para peserta pelatihan tentang isu-isu hak anak.
 Munculnya komitmen bersama untuk saling mendukung antara peran media/jurnalis dengan aktifis pembela hak anak dalam mewujudkan kepentingan terbaik anak di Nias.


D. Peserta
________________________________________
Secara khusus, pelatihan ini dirancang untuk:
• para aktivis organisasi masyarakat sipil (OMS) yang melakukan advokasi HAM secara umum dan khususnya hak anak.
 Para jurnalis media massa baik cetak maupun elektronik yang melakukan peliputan di wilayah kepulauan Nias.
 Total peserta dari kedua unsure organisasi tersebut sebanyak 25 orang, pemilihan peserta akan memperhatikan keterwakilan laki-laki dan perempuan.

E. Materi dan Metode Pelatihan
________________________________________
Materi Utama Pelatihan:
• KHA (konvensi hak anak) sebagai instrument pemenuhan, pembelaan dan promosi hak-hak anak di Indonesia.
• Study kasus: Kekerasan dan Pelanggaran hak anak di pulau Nias periode 2005 – 2010
• Persepsi Media/Jurnalis tentang anak sebagai sumber/objek pemberitaan
• Pemahaman tentang Undang-undang Pers dank ode etik jurnalis
• Belajar bersama liputan issu anak : Pendidikan, Kesehatan, Kekerasan, Hukum/Kriminal dan Budaya.
• Peran media/jurnalis sebagai pembela hak asasi manusia (khusus hak anak)

Metode Pelatihan:
Pada dasarnya pelatihan ini menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa (Andragogy). Peran peserta dalam pelatihan ini akan didorong lebih utama untuk saling belajar antara satu dengan lainnya. Beberapa teknik yang akan digunakan dalam pelatihan ini adalah:
• Ceramah dan Tanya Jawab
• Diskusi Kelompok
• Role play
• Belajar bersama (learning together)

F. Fasilitator dan Narasumber
________________________________________
Fasilitator :
1) Rika Yos (AJI Medan)
2) Co. Misran Lubis (PKPA-Medan)

Narasumber Lokal: Kak Ester (Anggota PWI Nias)

G. Waktu dan Tempat Kegiatan
Hari/Tanggal : Kamis-Sabtu/16 – 18 Desember 2010
Lokasi : Aula Hotel Vera, Gunung Sitoli

H. Proses Pelatihan
Pelatihan dilaksanakan selama 3 hari yang di mulai dari tanggal 16 – 18 desember 2010 di mulai pukul 09.30 wib. Pelatihan tersebut dibuka oleh Misran Lubis selaku Fasilitator dari PKPA.
Pada hari pertama peserta di berikan pemahaman tentang Instrumen Internasional CRC (Convention on the Right of the Child). Setelah itu peserta di minta untuk mendiskusikan beberapa topik yaitu Persepsi Media/Jurnalis tentang anak sebagai sumber/objek pemberitaan dan Study kasus: Kekerasan dan Pelanggaran hak anak di pulau Nias periode 2005 – 2010, yang mana diskusi tersebut dilakukan secara berkelompok.

Pada hari kedua peserta di pandu oleh Mbak Rika dari AJI Medan. Peserta juga mendapatkan materi mengenai peran media di kepulauan nias dalam peliputan permasalahan anak (kasus anak) dari Esther Pasaribu utusan PWI Nias, setelah itu peserta diminta untuk mendiskusi secara berkelompok beberapa topik diskusi yaitu Peran media/jurnalis sebagai pembela hak asasi manusia (khusus hak anak) dan Belajar bersama liputan issu anak sector Pendidikan, Kesehatan, Kekerasan, Hukum/Kriminal dan Budaya.

Pada tanggal 18 Desember 2010 yang merupakan hari terakhir pelatihan, maka para peserta diberikan materi mengenai Pemahaman tentang Advokasi dan kemudian melakukan diskusi kelompok dengan topik Mencari titik temu kepentingan dan tujuan advokasi: Apa yang dilakukan aktifis OMS dan Apa yang dilakukan Media/Jurnalis. Dan sebagai penutup dari kegiatan para peserta merumuskan suatu kesepakatan bersama mengenai peran dan fungsi dari OMS dan Jurnalis untuk menyuarakan HAM anak

Gunungsitoli, 20 Desember 2010

Supported by: Kindernothilfe

PERNIKAHAN DINI DI PULAU NIAS

KEKERASAN TERHADAP ANAK PEREMPUAN
& PERNIKAHAN DINI di PULAU NIAS
Oleh: Misran Lubis (Kord. Divisi Litbang PKPA)


Dampak nikah muda, keluarga itu gak harmonis lagi, KB sekarang gak bisa dikendalikan karena masih darah muda, jadi punya anak terus apalagi suami istri itu gak ada kerja makanya la sering berantam, anaknya kurang pendidikan, ngak ada lagi perhatian orang tua. Pagi-pagi orang tua sudah berangkat kerja tinggal anaknya beres-beres sendiri, kalo mau sekolah sekolah lah cari sendiri bajumu, karena saya sudah pengalaman sendiri dan sudah liat sendiri masalah seperti itu dikampung, (Indpeth, Minarti Dachi/02-02-08)

Sepenggal kutipan yang dituturkan salah seorang perempuan Nias dalam sesi diskusi, ia mengisahkan bagaimana keadaan keluarga yang menikah diusia muda, seringa terjadi kekerasan dan pemenuhan hak-hak anak juga terabaikan. Anak perempuan yang menjadi korban kekerasan harus menerima dampak berkelanjutan karena keadilan terhadap penyelesaian masalah belum berpihak pada korban. Mereka harus rela terasing dari keluarga dan lingkungan sosial karena dianggap telah membuat “aib” di keluarga dan masyarakat. Pada bidang hukum, kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan juga belum menjadi perhatian serius. Berbagai alasan dikemukan oleh aparat penegak hukum seperti jarak atau lokasi terjadinya kasus, kesulitan menghadirkan saksi dan alat bukti sehingga memperkuat alasan untuk “mendiamkan” kasus-kasus tersebut dan kemudian menyarankan untuk diselesaikan melalui musyawarah atau kekeluargaan.
Tahun 2008 lalu, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) melakukan sebuah kajian di untuk mendalami fenomena kekerasan terhadap anak dan perempuan serta pernikahan dini dipulau Nias. Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran umum permasalahan di lokasi penelitian. Sementara metode kualitatif dimaksudkan untuk lebih mendalami pemahaman terhadap fenomena tertentu dengan menggunakan wawancara mendalam, observasi terfokus dan focus group discussion (FGD).
Penelitian ini dilakukan di 5 desa dan 1 kelurahan yang berada di 3 kecamatan, yaitu Gunung Sitoli, Sirombu dan Tuhemberua, Kabupaten Nias. Jumlah sample penelitian adalah: 1) Informan kunci berjumlah 41 orang ( 30 orang laki-laki dan 11 orang perempuan) terdiri dari tokoh-tokoh Desa, Kecamatan, dan Kabupaten dari berbagai bidang pekerjaan dengan usia berkisar antara 19 – 70 tahun. 2) Responden terdiri atas dua kelompok sasaran yaitu anak dan perempuan dewasa. Responden anak berjumlah 278 orang dan Perempuan dewasa berjumlah 218 orang dengan rincian: belum menikah: 69 orang, janda: 12 orang dan yang masih bersuami 137 orang.

Temuan Lapangan

A. Kekerasan Terhadap Perempuan
Bentuk kekerasan yang dikenal masyarakat daerah penelitian dominan kekerasan fisik, hal ini ditandai dengan adanya luka-luka atau kondisi yang dapat dilihat secara langsung. Bentuk kekerasan lain seperti kekerasan verbal, walaupun dianggap bentuk kekerasan tetapi dianggap hal yang lumrah diterima perempuan terutama jika yang melakukan adalah suami atau orangtua (terutama bagi perempuan belum menikah). Masih berkembang asumsi di masyarakat bahwa jika kekerasan yang terjadi akibat kesalahan korban, maka memang pantas diberi hukuman (pukulan, maki-maki dan sebagainya), Bagi penganut Islam, Surat An-Nisa ayat 34 diartikan bahwa laki-laki boleh menghukum perempuan dengan melakukan kekerasan. Padahal jelas ayat tersebut memuat adanya tindakan yang secara bertahap kepada perempuan, jika perempuan tersebut melakukan kesalahan.
Kasus-kasus kekerasan seksual seperti perkosaan hanya beberapa yang dilaporkan ke Polsek atau Polres. Kekerasan ekonomi tidak dianggap merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan baik istri maupun anak perempuan karena perolehan atau pendapatan keluarga dianggap merupakan tanggungjawab bersama untuk memenuhi kebutuhan keluarga termasuk hutang-hutang untuk membayar jujuran. Dalam masyarakat Nias ada ungkapan “WARA HA SANORĂ– IDANO SAATĂ–” yang artinya jika menyeberang sungai, basah juga. Hal ini menjadi pegangan bagi perempuan yang menjadi istri, semua beban yang dipikul suami, istri harus ikut menanggungkannya.
Data yang dapat dihimpun dari Polres, Polsek dan lembaga yang melakukan pendampingan kepada korban sejak tahun 2005-2007 adalah 189 kasus, 27% diantara adalah kasus kekerasan seksual. Sementara kasus terbesar adalah kekerasan fisik yakni 59%. Kasus-kasus lainnya adalah kekerasan psikis 9%, kekerasan ekonomi 1 % dan trafficking 4%. Kekerasan seksual lebih banyak terjadi pada anak perempuan, kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual dan perkosaan. Sangat sulit memperoleh informasi tentang kekerasan seksual yang terjadi seluruh lokasi penelitian, baik dari aparat desa maupun aparat kecamatan serta tokoh-tokoh masyarakat yang sudah tua, karena masalah ini merupakan “aib” bagi keluarga dan lingkungan desa, sehingga informasi lebih tertutup. Sementara dari peserta FGD dan informan yang usinya masih muda (dibawah 30 tahun) lebih terbuka, mereka menyatakan ada beberapa kasus terjadi didesa mereka maupun di desa lain, namun kasusnya ditutup-tutupi dan diselesaikan dalam lingkup keluarga saja.

B. Pernikahan dini Anak Perempuan
Anak perempuan dianggap sebagai “asset” yang sangat berharga dan harus menjaga nama baik keluarga. Orang tua akan sangat bangga ketika anak gadisnya dipinang oleh keluarga lain dengan acara yang lengkap. Di masa lalu, pertunanganan dilakukan ketika anak masih dalam usia yang sangat muda bahkan ada yang masih dalam kandungan. Kondisi seperti ini masih ada walau tidak banyak lagi terutama diperkotaan. Menurut para informan, seorang anak perempuan lebih sulit untuk menentukan hak reproduksinya terutama dalam hal menikah. Berbeda dengan anak laki-laki yang lebih punya pilihan kapan dan dengan siapa akan menikah. Sebagian besar anak perempuan akan dinikahkan oleh orang tua karena beberapa faktor, antara lain:
• usia dianggap sudah cukup matang menurut kebiasaan masyarakat setempat disertai dengan tanda-tanda “kewanitaan” bagi anak perempuan sudah tampak secara kasat mata.
• disegerakan menikah untuk menjaga nama baik keluarga
• untuk mengurangi beban keluarga (faktor ekonomi), karena ketika menikah maka tanggung jawab anak perempuan akan berpindah kepada suami.
• untuk mengikat tali persaudaraan atau rumpun keluarga (Mado)
• sudah hamil karena hubungan diluar nikah (kehamilan tak diinginkan), meski penyebabnya adalah kekerasan seksual namun penyelesaiannya lebih sering dinikahkan meski tidak dengan orang yang menyebabkan kehamilan.
Jika usia anak perempuan belum mencapai 16 tahun sesuai persyaratan undang-undang perkawinan, maka sering terjadinya pemalsuan usia anak perempuan oleh keluarga dan disahkan oleh pejabat berwenang ditingkat desa atau kelurahan.
Saat ini, usia yang dianggap pantas untuk menikah bagi perempuan menurut para responden dan informan seharusnya diatas usia 20 tahun, walaupun hasil wawancara dan FGD menunjukkan masih banyak anak perempuan yang menikah dibawah 18 tahun, untuk memperlancar administrasi pernikahan biasanya usia dalam Akta Nikah direkayasa atau dinikahkan jika ada surat izin dari orang tua dan surat keterangan tidak keberatan dari anak perempuan tersebut. Berdasarkan angket ditemukan responden yang menikah pada usia 13 tahun (0.5%), 14 tahun (0,9%), 15 tahun (5,5%), 16 tahun (4,1%), dan 17 tahun (3,7%).
Sebenarnya batasan ini mengacu ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tetapi bertentangan dengan Undang-undang tentang Perlindungan Anak. Umumnya perkawinan pada usia muda tersebut mempunyai dampak yang kurang baik terhadap kesehatan dan keberlangsungan keluarga tersebut dalam mengurus anak dan tanggung jawab dalam adat dan agama.
Beberapa contoh dampak perkawinan pada usia dini dan pernikahan yang dipaksanakan menurut informan adalah:
Di sini juga ada anak perempuan yang dipaksa oleh orangtuanya untuk menikah, setelah seminggu menikah akhirnya anak perempuan tersebut bunuh diri. (FGD, Sirombu/29-01-08)

Dampak nikah muda, keluarga itu gak harmonis lagi, KB sekarang gak bisa dikendalikan karena masih darah muda, jadi punya anak terus apalagi suami istri itu gak ada kerja makanya la sering berantam, anaknya ngak ada, ngak ada lagi perhatian orang tua. Pagi-pagi orang tua sudah berangkat kerja tinggal anaknya beres-beres sendiri, kalo mau sekolah sekolah lah cari sendiri bajumu, karena saya sudah pengalaman sendiri dan sudah liat sendiri, (Indpeth, Minarti Dachi/02-02-08)

Kebiasaan perjodohan masih ada terjadi, dikota maupun didesa, karena perempuan tidak boleh berdekatan dengan laki-laki, apalagi berpacaran. Hal ini diungkapkan oleh informan yang bertugas melakukan upacara pernikahan, dimana banyak pasangan pengantin yang tidak saling kenal. Dari angket kepada perempuan ditemukan 36,7% responden diminta orang tua untuk menikah dan 0,9% dipaksa orang tua. Dampak terbesar dari pernikahan usia mudah dan pernikahan paksa adalah eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan sebagai istri didalam rumah tangga.



C. Posisi Perempuan Sebagai istri
Terjadinya perkawinan dalam adat Nias dilandasi beberapa alasan, tetapi yang paling dominan adalah untuk melanjutkan keturunan terutama lahirnya anak laki-laki sebagai pewaris keturunan. Asa’aro Laia menegaskan bahwa kehadiran bayi laki-laki merupakan peran untuk melanjutkan keturunan, melanjutkan garis keturunan (mado) serta sebagai penanggung jawab orang tua bila telah uzur (ono fangali mborosisi, ono fangali mbu’u kawono, ono samatohu ngarohua, ono samatohu gogotoa). Dengan pemaknaan yang seperti demikian, maka orang tua yang memiliki anak laki-laki akan mencari calon istri bagi anaknya dengan berbagai cara dan upaya, tanpa menghiraukan ada tidaknya cinta dan kasih sayang di antara calon pengantin.
Istri adalah ibu rumah tangga, oleh sebab itu mempunyai tugas dan kewajiban dalam menjalankan seluruh pekerjaan rumah tangga. Yang dimaksud pekerjaan rumah tangga bagi perempuan Nias (terutama di perdesaan) adalah seluruh pekerjaan yang ada di dalam rumah (mengurus anak, menyiapkan makanan, mencuci dan memasak), pekerjaan disekitar rumah (bertani, mengurus ternak, mengolah hasil pertanian seperti membelah dan menjemur pinang dan biji cacao) serta seluruh pekerjaan yang ada di lahan milik keluarga.
Posisi tawar perempuan sangat rendah, terutama bagi janda (suami meninggal dunia), karena sesudah pernikahan atau perkawinan dirinya dan seluruh harta bawaan (berupa pakaian dan perhiasan) dan harta hasil pencaharian bersama atau perempuan itu sendiri adalah milik keluarga suami. Oleh sebab itu, apabila ada seorang janda akan menikah lagi, maka seluruh harta dan anak-anaknya akan jatuh ketangan pihak keluarga suami.

D. PENUTUP
Pencegahan pernikahan di usia muda perlu dilakukan dengan melakukan langkah-langkah penting ditingkat kebijakan pemerintah daerah, organisasi budaya dan lembaga keagamaan. Secara Nasional diperlukan adanya revisi terhadap Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama-sama sejumlah organisasi gerakan perempuan pernah mengajukan revisi terhadap UU Perkawinan. Beberapa permasalahan pokok yang usulkan untuk direvisi antara lain; 1) Pendewasaan usia perkawinan di atas 18 tahun, dengan tidak membedakan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki, 2) Prinsip non diskriminasi dalam pencatatan perkawinan, di unit-unit di bawah naungan Departemen Agama, 3) Prinsip non-diskriminasi juga diterapkan terhadap hak dan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki, 4) Hak dan status anak yang dilahirkan di luar hubungan pernikahan tetap memiliki hak dan status yang sama dengan anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan secara perdata.Usulan dan gagasan yang telah diajukan sangat penting untuk terus didorong agar menjadi regulasi baru dalam penanganan perkawinan di Indonesia untuk menyelamatkan hak reproduksi anak-anak terutama anak perempuan.

Salam Penulis